Bagi penggemar minum teh pasti tidak asing dengan teh poci. Teh seduh yang di proses dalam teko tanah liat. Cita rasa tehnya khas pahit, sepet, harum aroma daun teh.
Banyak rumor mengatakan, semakin hitam dan berkerak teko poci semakin nikmat rasa tehnya, dibanding yang masih bersih berwarna tanah liat. Bisa jadi anggapan itu benar karena sisa air teh yang menempel meresap dalam teko tanah membentuk aroma tersendiri yang tidak bisa dibuat secara instant. Mesti melalui proses penyeduhan teh dan air panas berbulan bulan bahkan bertahun, hingga menghasilkan residu air teh di cawan bagian dalam.
Lantas apa hubungannya teh poci dengan penjual gudeg lesehan? Logika kuliner mengatakan, bahwa jari tangan mbok Jum, yu Sri dan mbok-mbok lainnya menjadi kunci citarasa makanan tradisional yang banyak disukai itu. Jari jari tangan yang setiap pagi mengolah bumbu, rempah rempah, gori (bahan gudeg), telur hingga daging ayam secara otomatis membentuk “kerak” yang khas. Sekujur kulit jari kusam kadang berparut hasil bersentuhan aneka bahan makanan selama bertahun tahun seolah membentuk aroma khas. Maka tak heran, menu gudeg komplit paling nikmat adalah yang di ambil dengan jari tangan penjualnya langsung. Gudeg hasil jumputan tangan beda rasa dengan yang mengambil menggunakan sendok. Daging ayam yang disuwir beda rasa dengan yang dipotong pisau.
Jadi bagi para penggemar kuliner, teh poci berkerak sama halnya dengan jari mbok Jum yang kusam berkerak bumbu. Proses kenikmatan rasa alamiah berlangsung bertahun tahun. Meski tidak sepenuhnya teh poci merek kang marto dan gudeg gambar yu Parmi yang nikmat, tapi sesering apa poci itu digunakan dan selama apa penjual gudeg mengolah bumbu dengan tangannya, menjadi logika kuliner yang bisa diterima akal.
Asal jangan salah orang, tukang servis printer jarinya juga kusam, tapi kalau jualan gudeg rasanya pahit. Suweeer deh!!